Jumat, 06 Mei 2011

Agama dan Budaya Komsumtif

   Bersenang-senang dengan cara belanja sepuasnya tentunya adalah hal yang sangat menarik bagi sebagian orang, utamanya bagi kaum hawa, seperti yang dikutip dalam sebuah tulisan bahwa sejarah konsumerisme adalah sejarah perempuan. Segala moment dapat berubah menjadi hari belanja sepuasnya. Satu diantaranya kita bisa melihat sebagian masyarakat menyambut hari raya seperti Lebaran, Natal, ataupun Tahun Baru, semuanya tak lepas dari hari belanja bersama. Hal ini tentunya suatu kebiasaan yang sangat menguntungkan bagi para pedagang, utamanya para pemilik Departemen Store dan Super Market karena kedua tempat ini akan selalu menjadi sasaran bagi mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke atas, sedangkan mereka yang berada di kelompok menengah ke bawah, akan semakin kewalahan dalam menjelang hari raya karena biasanya harga-harga barang di pasar tradisional pun akan melonjak tajam menjelang hari raya.
   Budaya membeli dan menghambur-hambur uang atau sering diistilahkan budaya konsumptif budaya ini menyerang masyarakat disebabkan oleh beberapa hal. Satu yang paling berpengaruh adalah KORPORASI. Korporasi masuk ke setiap rumah utamanya dalam bentuk kotak kecil bernama Televisi (TV). Berbagai iklan produk maupun jasa dikemas sedemikian rupa agar dapat menarik minat masyarakat untuk membeli. Bahkan korporasi mampu menjadikan masyarakat ‘yakin dan percaya’ bahwa status social diukur dengan seberapa banyak harta yang dimiliki (tentu saja harta ini hanya diukur dari seberapa banyak dan seberapa mewah barang-barang yang dimiliki).
Korporasi bahkan mampu memudarkan makna-makna dari setiap perayaan keagamaan. Lebaran misalnya, hari dimana seharusnya dirayakan sebagai hari kemenangan setelah berhasil berpuasa—tidak hanya berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga dari melawan hawa nafsu, justru dirayakan dengan ‘kembalinya’ hawa nafsu yang ditandai dengan belanja sebanyak mungkin. Pun demikian dengan Natal, menurut Uskup Yohanes Likuada, Uskup Gereja Katedral, Makassar, berfoya-foya merupakan sebuah penyimpangan dari ajaran Alkitab, dan lepas dari makna Natal yang sebenarnya.
Menurut Y.M Siriratano Thera, Kepala Vihara Sasana Dipa, bahwa dalam ajaran Buddha, berfoya-foya berhubungan dengan kammatanha. Kamatanha adalah suatu kesenangan dan kesukaan di dalam rupa, suara, bau-bauan atau kelezatan dan sentuhan yang tidak pernah ada akhirnya, senang yang ini disusul dengan senang yang itu (nafsu keinginan terhadap kesenangan indera), inilah yang disebut Kammatanha. Kammatanha inilah yang merupakan sumber utama atau kepala dan segala macam Dukkha (Penderitaaan). Maka dari itu, kita sebaiknya mengembangkan pengendalian diri untuk tidak berfoya-foya” Tambahnya.
   Dari dua sudut pandang agama di atas, jelas bahwa tidak satu pun yang membenarkan perilaku konsumtif (berlebih-lebihan) namun sayangnya ajaran agama sudah tak mampu lagi menjadi benteng perlindungan dari hegemoni industri. Sangat sulit memang bahkan nyaris tidak mungkin menolak masuknya pengaruh korporasi masuk ke setiap rumah kita terlebih lagi di negara penganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. Bahkan usaha menutup diri dari pengaruh luar dengan cara tidak menonton TV, tidak dapat bertahan lama karena kalau bukan kita yang mencari TV dia yang datang ke kita. Ini membuktikan bahwa korporasi/industry telah masuk hingga ke bagian terkecil dari hidup kita. Sehingga akan menjadi sangat aneh jika kita tidak mengikuti trend yang dibentuk oleh mereka yang diperkenalkan lewat para artis-artis di Televisi dan muncul setiap hari di hadapan kita.
Beginilah korporasi menguasai diri kita hari ini. Perlahan tapi pasti ia merasuk dan membentuk cara pandang kita dalam memaknai hidup ini. (bunga)
Hasil tulisan TOT UKPM Unhas (News Letter MERAH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar