Bersenang-senang
dengan cara belanja sepuasnya tentunya adalah hal yang sangat menarik bagi
sebagian orang, utamanya bagi kaum hawa, seperti yang dikutip dalam sebuah
tulisan bahwa sejarah konsumerisme adalah sejarah perempuan. Segala moment
dapat berubah menjadi hari belanja sepuasnya. Satu diantaranya kita bisa
melihat sebagian masyarakat menyambut hari raya seperti Lebaran, Natal, ataupun
Tahun Baru, semuanya tak lepas dari hari belanja bersama. Hal ini tentunya
suatu kebiasaan yang sangat menguntungkan bagi para pedagang, utamanya para
pemilik Departemen Store dan Super Market karena kedua tempat ini akan selalu
menjadi sasaran bagi mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke atas,
sedangkan mereka yang berada di kelompok menengah ke bawah, akan semakin
kewalahan dalam menjelang hari raya karena biasanya harga-harga barang di pasar
tradisional pun akan melonjak tajam menjelang hari raya.
Budaya membeli dan
menghambur-hambur uang atau sering diistilahkan budaya konsumptif budaya ini
menyerang masyarakat disebabkan oleh beberapa hal. Satu yang paling berpengaruh
adalah KORPORASI. Korporasi masuk ke setiap rumah utamanya dalam bentuk kotak
kecil bernama Televisi (TV). Berbagai iklan produk maupun jasa dikemas
sedemikian rupa agar dapat menarik minat masyarakat untuk membeli. Bahkan
korporasi mampu menjadikan masyarakat ‘yakin dan percaya’ bahwa status social
diukur dengan seberapa banyak harta yang dimiliki (tentu saja harta ini hanya
diukur dari seberapa banyak dan seberapa mewah barang-barang yang dimiliki).
Korporasi bahkan
mampu memudarkan makna-makna dari setiap perayaan keagamaan. Lebaran misalnya,
hari dimana seharusnya dirayakan sebagai hari kemenangan setelah berhasil
berpuasa—tidak hanya berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga dari melawan
hawa nafsu, justru dirayakan dengan ‘kembalinya’ hawa nafsu yang ditandai
dengan belanja sebanyak mungkin. Pun demikian dengan Natal, menurut Uskup
Yohanes Likuada, Uskup Gereja Katedral, Makassar, berfoya-foya merupakan sebuah
penyimpangan dari ajaran Alkitab, dan lepas dari makna Natal yang sebenarnya.
Menurut Y.M Siriratano
Thera, Kepala Vihara Sasana Dipa, bahwa dalam ajaran Buddha, berfoya-foya
berhubungan dengan kammatanha. Kamatanha adalah suatu kesenangan dan kesukaan
di dalam rupa, suara, bau-bauan atau kelezatan dan sentuhan yang tidak pernah
ada akhirnya, senang yang ini disusul dengan senang yang itu (nafsu keinginan
terhadap kesenangan indera), inilah yang disebut Kammatanha. Kammatanha inilah
yang merupakan sumber utama atau kepala dan segala macam Dukkha (Penderitaaan).
Maka dari itu, kita sebaiknya mengembangkan pengendalian diri untuk tidak
berfoya-foya” Tambahnya.
Dari dua sudut
pandang agama di atas, jelas bahwa tidak satu pun yang membenarkan perilaku
konsumtif (berlebih-lebihan) namun sayangnya ajaran agama sudah tak mampu lagi
menjadi benteng perlindungan dari hegemoni industri. Sangat sulit memang bahkan
nyaris tidak mungkin menolak masuknya pengaruh korporasi masuk ke setiap rumah
kita terlebih lagi di negara penganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. Bahkan
usaha menutup diri dari pengaruh luar dengan cara tidak menonton TV, tidak
dapat bertahan lama karena kalau bukan kita yang mencari TV dia yang datang ke
kita. Ini membuktikan bahwa korporasi/industry telah masuk hingga ke bagian
terkecil dari hidup kita. Sehingga akan menjadi sangat aneh jika kita tidak
mengikuti trend yang dibentuk oleh mereka yang diperkenalkan lewat para
artis-artis di Televisi dan muncul setiap hari di hadapan kita.
Beginilah korporasi
menguasai diri kita hari ini. Perlahan tapi pasti ia merasuk dan membentuk cara
pandang kita dalam memaknai hidup ini. (bunga)
Hasil
tulisan TOT UKPM Unhas (News Letter MERAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar